Semua orang pastinya sudah tahu, ketika memasuki bangku sekolah menengah atas, kita dihadapkan untuk memilih antara 3 jurusan, yakni IPA, IPS atau bahasa. Pada dasarnya, penjurusan ini adalah untuk lebih mengkonsentrasikan bidang pembelajaran, sehingga siswa diharapkan mampu lebih terfokus.
Namun, praktiknya, seringkali ketiga jurusan ini hadir dengan buaian stereotip dan mitos.
Saya putar kembali ingatan saya waktu itu. Berhubung saya tidak tahu yang mana lebih baik dipilih, saya memulai mencari tahu dengan menanyakan orang-orang di sekeliling saya, termasuk orang tua. Nyatanya, kebanyakan dari mereka begitu mendewakan jurusan IPA. Jurusan ini dianggap segalanya dan paling fleksibel, karena katanya siswa jurusan IPA masih bisa beralih ke ilmu sosial dan bahasa nantinya, dan tentunya dengan lebih mudah beradaptasi dan mengerti terhadap ilmu baru.
Orang-orang yang bisa masuk jurusan ini dianggap pintar dan memiliki IQ yang lebih tinggi daripada jurusan yang lain, karena sederhanya dianggap lebih bisa menggunakan logika, sedangkan jurusan yang lain hanya mengandalkan hapalan. Iming-imingnya juga, karena katanya jawaban ujian lebih pasti, ketimbang ilmu sosial yang harus berupa essay ataupun pengetahuan umum. Terakhir, semakin dibumbui lagi dengan kemudahan untuk mencari jurusan jika melanjutkan kuliah nanti. Intinya, masa depan seakan gemilang untuk kelas IPA.
Di sisi lain, sayangnya jurusan IPS makin dikesampingkan. Mitosnya mayoritas siswa kelas IPS adalah orang-orang berandal, rebel, dan ditakutkan lagi mudah terpengaruh dengan pergaulan yang menyimpang.
Kemudian, kita beralih ke jurusan yang paling jarang diminati: bahasa. Dulu, saat saya SMA, kelas bahasa hanya satu, siswanya hanya 11 orang. Bahkan, tidak sedikit yang bilang kelas ini kelas buangan.