kenapa malas?
6:56 AM
Kita belajar
sedari lahir. Berusaha mencari makan sendiri dengan inisiasi dini. Belajar
duduk, belajar cooing, babbling, belajar merangkak, belajar jalan, belajar
ngomong, sampai akhirnya belajar yang bener-bener belajar dari TK sampai
perguruan tinggi. Dari bayi itu, sepertinya ga ada anak bayi yang bilang males
untuk belajar merangkak. Mereka terus berusaha (tanpa kata malas) sampai bisa. Tapi
kenapa, semakin bertambah umur kita, semakin banyak saja orang yang sering
berkata malas?
1. kurangnya
interest. Semakin bertambahnya usia, kita bukan belajar secara alami lagi, tapi
karena tuntutan. Situasi dan kondisi social yang menyebabkan kita belajar. Bisa
dibilang, kita belajar untuk mencari sertifikat, sertifikat itu kita pakai
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dengan pekerjaan yang lebih baik
tentunya gaji menjadi lebih baik, dengan gaji yang lebih baik tentunya lebih
mudah bagi kita mendapatkan uang, dengan banyaknya uang yang kita punya tentu
kita bisa punya segalanya. Nah itu, yang
kalau punya pemikiran sama seperti diatas, pasti usaha buat belajar buat
kehidupan yang lebih baik. Nah kalau engga? Pastinya interest mereka berkurang
di sini, mereka akan lebih mudah ignore, merasa bahwa apa yang diajarkan sangat
tidak berguna, apalagi bagi mereka yang harta orang tuanya ga abis 100 turunan
(biasanya) akan lebih ga peduli. Karena mungkin, mereka hanya mencari tahap dua
(mendapatkan sertifikat) dan merasa sudah memiliki segalanya. And well done.
Akhirnya, kata malas yang selalu ada.
2. Ikut-ikutan
temen. Ada juga orang yang awalnya udah kalem mau belajar baik gitu, tiba-tiba
dateng hasutan dari temen-temennya. Biasanya sih dengan mocking atau teasing
kalau belajar itu buang-buang waktu, ga ada untungnya, dibilang anak mama, sok
rajin, atau bahkan “mau aja sih kamu ngikutin orang tuamu, toh mau jadi apa
sih? Presiden masih sehat-sehat aja, gini donk kayak aku santai kan enak.”
Sekilas terasa menggiurkan, bersantai disaat muda seperti ini, menikmati
semuanya semau kita, tapi itu sekali lagi hanya sekilas. Belum tentu kilasan
itu terus kita rasakan. Lalu setelah kita tidak merasakannya lagi gimana?
Menyesal? PERCUMA!
3. Takut
dijadiin bahan gossip. Orang-orang “berkemampuan special” (bukan pintar atau
cerdas, tapi orang yang memanfaatkan otaknya semaksimal mungkin, bukan
dibiarkan terbengkalai) terkadang disudutkan. Aku sering nonton di pertunjukan
sirkus, binatang-binatang cerdas yang dilatih dibayar mahal dan diberi tepuk
tangan yang meriah ketika bisa melakukan hal-hal yang binatang lain sepertinya
tidak bisa. Begitu hebatnya apresiasi kita kepada hewan-hewan cerdas itu,
tetapi bagaimana dengan ras kita sendiri? Manusia? Masih teringat cerita si
jenius Habibie yang tidak diterima di Indonesia tapi malah disambut hangat di
Jerman. Teringat juga, kisah Sri Mulyani yang dijadikan terdakwa kasus korupsi
di Indonesia, tapi sangat diharapkan di Bank Dunia. Entah kenapa, hal ini
mengakar sampai ke hal-hal kecil. Terkadang aku merasa tersudutkan, ketika di
kelas, seseorang yang aktif atau kritis terhadap kuliah dari dosen biasanya
dianggap sebagai mahasiswa penjilat, ingin cari muka, atau sok pinter, terlebih
mereka dianggap memakan waktu yang seharusnya bisa dijadikan jam istirahat dan
pastinya jadi bahan gossip yang paling seru. Bahkan, di beberapa kasus, mereka
yang seperti itu biasanya dimusuhi. Hal ini mungkin salah satu factor lagi yang
menghambat seseorang untuk belajar dan membuatnya semakin malas. Mungkin tidak
hanya di Indonesia, di tempat lainnya bisa jadi mengalami hal yang sama.
Semua inti
kehidupan sebenarnya dari belajar, karena pada dasarnya kita belajar untuk
hidup. Belajar melakukan apapun yang bisa membuat kita survive untuk tetap
hidup. Tapi, sayang tidak banyak yang menyadari bahwa kita terkadang harus
hidup untuk belajar.
2 komentar
Yang ketiga itu solusinya gimana ya??
ReplyDeletekalo ada orang yang kadang bosan dengan segala aktivitasnya?
yah mungkin memang, beberapa orang masih belum bisa menerima kemampuan "spesial" dari orang lain, yang bisa jadi berujung pada meremehkan dan iri pada mereka. Kalau saran dari saya pribadi sih, "lakukan dan pertahankan apa yang menurut kita baik dan juga benar, kemudian buktikan."
DeleteGalileo dan Christoper Columbus saja pernah dicerca, dicaci, dan bahkan disalahkan secara mutlak oleh seluruh dunia karena menyatakan bahwa bumi itu bulat, tapi kita lihat kan buktinya sekarang siapa yang benar? jadi begitulah kak Titin :)