Kita semua memang makhluk
sosial. Kita perlu dan harus bersosialisasi. Dengan perkembangan jaman dan
teknologi yang sangat pesat ini, sosialisasi tidak lagi dengan hanya tatap
muka, tetapi juga bisa melalui benda mati, contohnya dengan ponsel cerdas.
Cukup ditambah jaringan internet dan tingkat kenarsisan yang tinggi, kita mampu
bersosialisasi dan memberikan informasi tentang apa saja kepada siapa saja.
Tidak perlu belajar
membaca pikiran orang lain, detik ini juga bisa kita ketahui profil orang siapa
saja dari Facebook. Tidak perlu memperdalam intuisi, saat ini juga kita tahu
apa yang dia lakukan, lengkap dengan siapa saja dan dimana dari path. Ada
banyak lagi sosial media lainnya seperti path, line, twitter, bbm, youtube, bahkan
blog ini salah satunya.
Dua teman saya yang kecanduan sharing di sosmed |
Salah seorang teman
saya juga pernah beropini bahwa sosial media kini seakan membalikkan Teori
Maslow, karena justru kebutuhan dasar yang kita inginkan berubah menjadi Aktualisasi
diri, bukan Physiological lagi. Lihat saja, ketika di restoran, saat makanan datang,
kita lebih memilih untuk mengambil foto dan share
ke sosial media dibanding langsung memakannya. Kita butuh aktualisasi
terlebih dulu baru kemudian memenuhi kebutuhan fisik.
Seiring
perkembangannya, kehadiran sosial media sebenarnya dibuat dengan tujuan yang
sangat mulia yakni agar kita bisa berbagi (share).
Namun, batasan ‘berbagi’ itu berkembang liar, bahkan tanpa batasan. Kini mulai
muncul beberapa postingan di sosial media, sesuatu yang sebenarnya privasi
justru dibawa ke ranah publik. Sampai juga, semua yang privasi dianggap wajar
untuk dikonsumsi publik. Semua orang melihat, semua orang berkomentar. Ada yang
berkomentar langsung, ada yang dipendam dalam hati. Parahnya, tidak semua
komentar berujung positif, tetapi justru
menyindir dengan nada mencemooh (sneer)