Satu Pertanyaan untuk Red LIght District
8:19 PM
Tulisan saya
kali ini, agak hot sedikit. Namun, sayang sekali hanya bisa bercerita lewat
tulisan karena saat itu, saya tidak diperbolehkan mengambil foto, bukan hanya
untuk menjaga identitas si pekerja tetapi lebih kepada ‘menghormati’ pekerjaan
mereka.
***
Menyusuri
pusat kota Amsterdam, kurang lengkap rasanya kalau belum mengunjungi daerah Red
Light District. Area ini cukup unik karena menyajikan seks dengan cuma-cuma yang menawarkan ‘hiburan’ tersebut secara blak-blakan, sangat cocok bagi mereka yang haus akan ‘kenikmatan’ itu. Berbekal
rasa penasaran, akhirnya malam itu, saya (ditemani beberapa teman) menyaksikan
sendiri bagaimana sisi ‘hewani’ seorang manusia mengalir. Ada beberapa wanita
berjejer mengenakan pakaian yang sengaja seminim mungkin dan berbangga menonjolkan
buah dadanya. Ada pula yang berlebihan menambah dengan atraksi menggeliat
supaya lebih greget dan ‘laku’. Mereka semua masing-masing berada dalam satu bilik kamar dan
dibatasi oleh kaca, semacam etalase di toko baju. Sepanjang kanal Amsterdam seketika
dipadati oleh sebagian besar para lelaki, hanya segelintir pengunjung yang perempuan
(termasuk saya, hehe).
Mereka yang
tertarik, langsung mengetok kaca untuk negosiasi harga, tak jarang ada yang
menawar sebelum melakukan ‘transaksi’. Uniknya, transaksi seks ini dilegalkan
berupa sebuah patung dalam Bahasa inggris yang mencantumkan dengan jelas bahwa
para pekerja memang menyandangnya sebagai sebuah profesi. Tidak hanya itu,
sebelum sampai Red Light District, tak jauh dari Amsterdam Square, saya melihat
tugu berbentuk alat kelamin pria berdiri kokoh, menunjukkan seks adalah
kebanggaan warga Amsterdam.
Ngomong-ngomong,
ketika bicara seks, tidak usah dan tidak perlu dipertanyakan lagi, tentunya ada
dua pihak atau lebih (karena kalau cuman sendiri ya masturbasi namanya). Entah pria dengan
wanita, pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Pikiran saya langsung pastinya setidaknya ada baik pria atau
wanita yang dipajang. Namun, sepanjang perjalanan saya melewati daerah ini, dan
sudah berjalan sampai ujung, belum satu 'batang' pun yang saya lihat. Semuanya
wanita..
Satu
pertanyaan saya: Kenapa hanya wanita yang diekspos?
Pertanyaan
ini kemudian merembet ke pertanyaan lain: Kenapa wanita selalu menjadi objek?
Sedangkan pria menjadi penikmat liar tanpa mau disoroti?
Saya
seringkali mendengar istilah ‘bukan wanita baik-baik’ tapi apakah ada juga ‘bukan
pria baik-baik’? Dalam budaya Indonesia, perempuan yang tidak lagi perawan
sebelum menikah dianggap dosa dan murahan, pernahkan kita mempermasalahkan
keperjakaan pria?
Dalam kisah
pewayangan Arjuna Wiwaha, tertulis kisah ketika sang Arjuna digoda tujuh
bidadari tercantik untuk membatalkan meditasinya. Pernahkah kita mendengar
kisah sebaliknya? Seorang wanita yang digoda tujuh pria tampan?
Dahulu,
seorang Raja, walaupun memiliki satu ratu, pasti punya banyak permaisuri dan selir, dan itu
wajar. Tetapi balik lagi ke kisah pewayangan, bagaimana ketika Dewi Drupadi
begitu dihina dan menjadi perbincangan ketika memiliki lima suami?
Saya juga
sering mendengar anggapan bahwa hal berbahaya yang ‘menguji’ kesuksesan adalah
tiga hal: Harta, tahta dan wanita. Seberbahaya itukah wanita?
Atau mungkin, pertanyaan yang lebih tepat: selemah itukah Pria?
Source: www.pinterest.com |
Selama ini,
wanita dianggap madu dan racun dalam waktu yang bersamaan. Manis, menenangkan,
menyejukkan, tapi juga berbalik merugikan.
Atau jugaaa.... Wanita itu seperti
bom peledak yang terbungkus cantik menjadi permen lollipop.
Permen yang tentunya hanya anak
kecil ingusan yang tidak tahu apa-apa dan terlalu lugu yang mau menghisapnya..
Selamat
malam para pejantan tangguh!
0 komentar