Nistakah Menjadi Sederhana?
5:15 AM
Saat ini
lagi ngetren dan heboh penggunaan istilah ini. Nista itu sendiri berarti sesuatu
yang dianggap hina, cela atau ternoda. Sesuatu yang menurut kebanyakan orang
tidak pantas untuk dilakukan karena akan dianggap rendah, aib, tercela dan lain
sebagainya. Alhasil, nista pun dihindari.
Sata katu
lainnya: sederhana. Kata ini sepertinya terlalu merendah, membumi, menerima apa
adanya, berpenampilan seadanya dan tidak terlalu menunjukkan diri. Ditambah
lagi tidak terlalu mengada-ada. Diriku adalah bagaimana diriku.
***
Saya kembali
stalking sosmednya, mengusap layar
naik dan turun, memperhatikan dengan seksama sambil menggeleng tak percaya.
Bagaimana bisa hanya untuk makan malam, dia bisa memilih untuk makan ke
restoran yang bahkan harganya sebanding dengan membeli bahan makanan sebulan?
Bagaimana bisa dalam sekejap, sederet tas kresek berlogo mewah itu digenggamnya
padahal masih menagih uang pada orang tua? Bagaimana bisa sandal mahal itu
diinjaknya padahal utangnya masih melilit kemana-mana bagaikan gurita?
Bagaimana bisa jalan-jalan di penginapan mewah dengan penghabisan yang begitu
fantastis lebih dipilihnya ketimbang memikirkan tabungan masa depannya kelak? Bagaimana
bisa foto sisa kopi yang diseruputnya itu dipamerkan bagaikan berhasil meraih
piala emas? Bagaimana bisa gaya hidupnya yang dipaksakan glamour menjadi umpan
untuk meraih rasa kagum orang lain? Bagaimana bisa?
Mungkin
hanya saya yang terlalu berhiperbola, mungkin saja sebenarnya dia hanya
berpenampilan layaknya orang-orang pada umumnya. Orang-orang yang menunjukkan
materi sebagai suatu kebanggan.
Hedonic treadmill. Mencari kepuasan materi sebagai
bentuk pencapaian. Berusaha terus untuk memenuhi hasrat konsumerisme yang
lambat laun tercekik ketidakpuasan tiada henti. Bukannya berhasil mencapai
tujuan tertentu, justru malah akan tenggelam dalam rantai treadmill, yang tidak
pernah putus. Diam di tempat. Stagnan. Kasihan.
Cobalah
merenung sejenak. Bukankah ini hanya akal-akalan para kapitalis untuk semakin
mencokol pasar? Menguasai mereka yang tidak berpunya menjadi semakin
terjerumus. Mereka yang tidak mampu lagi membendungi rasa gengsi yang sudah
terlanjur terkelabui oleh pencitraannya. Merasa harus terus menerus menjadi
orang ‘berkelebihan’. Sementara, jauh di
sana, para kapitalis itu kipas-kipas dengan santai melihat kekayaannya yang
kian bertambah. Apalagi, para kapitalis ini memiliki strategi yang tepat
sekali, dengan menyasar negara ketiga, negara yang paling mudah dibelokkan
opininya, yang paling mudah diubah karakternya sehingga mampu terhipnotis
mengikuti pasar. Kita hanya
akan dengan cepat menggemukkan mereka, sambil mematikan pedagang dan pengusaha
lokal di negeri sendiri, hanya untuk satu alasan utama: mengikuti trend
terkini, sehingga mampu bersosialisasi, diterima dalam
pertemanan hingga dianggap tidak nista. Iya, tidak nista, dan tidak dikucilkan.
Begitukah? Silahkan,
benahi saya jika salah.
Konsumerisme
itu baik, namun sewajarnya. Kepuasan materi tidak bertahan selamanya. It only
gives you pleasure, not happiness.
Bijaklah
sedikit dalam mengelola keuangan. Saya yakin yang membaca ini adalah
orang-orang pintar yang semuanya tahu tentang menempatkan skala prioritas.
…dan
meleklah sebelum mengambil keputusan. Tidak selamanya kita harus menjadi domba
dan mengikuti mereka yang sudah terlanjur salah jalan.
--> Lalu, nistakah tampil seadanya dan menjadi sederhana?
0 komentar