“Ibu, Ayah, belajarlah dari pasir.”
10:45 PM
Orang tua memang pembimbing, tapi selebihnya kita yang berhak
membimbing jalan hidup kita sendiri.
Orang tua memang harus
dihormati, tapi seharusnya penghormatan itu tidak dikaburkan dengan titah.
Aku ingin berbagi suatu kisah. Klasik. Jaman dulu di Bali,
memang dilarang menikah dengan suku luar Bali, apalagi gadisnya. Gadis bali
dilingkari ruang geraknya dengan berbagai aturan yang terkadang radikal. Orang
tua Bali jaman itu, mengharapkan anak gadisnya hanya hidup dan mati di Bali.
Kisah ini bermula dari kisah kasih seorang gadis Bali dan pemuda asal Blitar
yang bekerja sebagai guru di Bali. Sayangnya, pertemuan cinta mereka ditentang
adat tradisi. Srimben, gadis Bali ini akhirnya memutuskan untuk kawin lari
dengan Soekeni. Dari pernikahan
terlarang itu, lahirlah ‘sang putra fajar’, sang proklamator kita. Presiden
Soekarno.
Bagaimana jika mereka tetap ‘menghormati’ prinsip dan opini
orang tuanya? Bisa dipastikan kita tidak akan pernah mengenal tokoh melegenda bernama
Soekarno.
Aku kadang kurang mengerti. Memang, kita terlahir karena mereka,
orang tua kita. Bahkan aku pun, terlahir dengan kasih sayang dan pengharapan
yang luar biasa. Sampai, pengharapan itu seringkali diburamkan dengan
pembatasan.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan aturan. Oke, kita mulai
dari hal paling kecil, yaitu belajar tepat waktu. Makan tepat waktu, tidur
tepat waktu, belajar tepat waktu dan pacaran tepat waktu *ups.
Aku juga diwajibkan minum minuman yang kata mereka bergizi,
seperti: susu, jus papaya, jus wortel. Tapi, entah bergizi dimananya, karena
setelah itu badanku malah menjadi kekuningan. Atau mungkin terlalu banyak,
entahlah -__-
Bertambahnya usiaku, aturan itu juga semakin bertambah.
Misalnya: jangan pulang terlalu malam, jangan pakai celana terlalu pendek,
jangan pakai rok ketat dan pendek, bla bla bla..
Mungkin aku disangka belum bisa menjaga diri sendiri, atau
mungkin disangka lemah. Ketika aku berkata seperti ini, aku ingat dengan film Despicable Me. Tokoh utamanya serupa
denganku, sepertinya. Aku ingat sekali ketika dia berkata, “Mom, someday, I’m
going to go to the moon.” Dan ibunya hanya berkata, “Oh, I’m afraid you’re too
late, son. NASA isn’t sending the monkeys anymore.”
Mengingatkanku pada kenangan waktu itu, “Bu, depik pengen kayak
gini, bawa piala trus fotoan.” (sambil nunjuk foto di majalah) || “Ah jangan
menghayal pik, yang biasa-biasa aja.” Itu jawaban Ibu yang hangat dan penuh
motivasi. Aku kumpulkan serpihan semangatku itu dan kutumpukkan menjadi
bukit motivasi. Aku langsung tunjukkan pada Ibu, beberapa bulan kemudiannya
Ibu bercerita, mencoba mengingatkanku lagi hal kecil dalam
perlombaan mewarnai ini. Sungguh hal yang membanggakan, ketika peserta lomba
lainnya siap dengan alas meja lipat dan pensil warna barunya. Aku juga siap
dengan alas meja dari lantai dan pensil warna tumpul dari sepupuku. Bahkan, aku
juga siap dengan penggerot dari teman sebelahku. Sangat membanggakan, ketika
akhirnya aku bisa mendapatkan piala juara 2 itu, sekaligus menunjukkan pada
Ibu. Menunjukkan bahwa aku bisa. Bisa membuktikan apa yang aku katakan.
Kita dan orang tua yang berbeda pendapat, tentunya hal yang
lumrah. Walaupun otak kita berasal dari mereka, tapi kita punya pemikiran
sendiri. Kita ingin menjadi individu yang utuh dan mandiri.
Jangan salahkan orang tua, mereka terlalu mencintai kita. Kadang
mereka terlalu dibayangi rasa takut, dan dihantui pandangan negatif, sehingga
menggenggam kita terlalu erat. Mengharapkan kita utuh seperti apa yang mereka
inginkan.
Tapi ingat, layaknya menggenggam pasir, terkadang bukannya semua
pasir itu utuh di tangan kita, tetapi justru berjatuhan dan hanya sedikit yang
tersisa.
Jadi aku mohon, “Ibu, Ayah, belajarlah dari pasir.” :)
0 komentar