Satu pertanyaan klise
yang menggelitik dan seakan wajib bagi para jomblo (termasuk saya) adalah
berikut ini “Masa belum punya pacar?” Ketika kalimat ini masuk ke telinga saya,
karena mungkin saking seringnya, otak saya sepertinya menerjemahkan berbeda “Well
Devi, kamu seharusnya sudah punya pacar.”
Saya “pernah” punya pacar, selain karena
memang saya cinta (cieh cinta), saya akui salah satu alasan lainnya adalah
karena saya “penasaran”. Jadi ini semacam eksperimen anak ingusan untuk
membuktikan hipotes sebagian besar orang tentang apakah benar pacaran itu
seindah barisan kata di novel remaja, sebahagianya film romansa, seromantis
drama film korea, sekonyolnya serial FTV, atau mungkin seabadi cinta
Habibie-Ainun. Hipotesis ini belum terjawab, karena saya sendiri belum
menemukan cinta yang benar-benar cinta (cieh cinta lagi).
Ada lagi yang turut
prihatin menyarankan untuk jangan terlalu memilih dan menerima dia yang
mencintai kita (cieh lagi-lagi cinta). Oke, ini yang menurut saya paling
krusial. “Dia” seseorang yang akan mendampingi dan menemani kita seumur hidup,
apa mungkin kita asal pilih? Bagaimana dengan konsekuensinya nanti? Bukankah
justru semakin berat? Saya sebenarnya kurang setuju dengan ungkapan “berteman
dengan siapa saja, tidak boleh memilih”, ini yang dulu sering saya baca di buku
budi pekerti. Tidakkah mereka tahu bahwa faktor eksternal yang paling
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kita adalah orang-orang terdekat?
Bagaimana kalau kita asal pilih dan akhirnya berteman dengan kriminal? Atau
orang-orang yang dengan lihainya memanfaatkan kita demi keuntungannya? Begitu
juga dengan pendamping hidup kelak, yakinkah kita seumur hidup bersamanya? Jadi
untuk yang ini saya sanggah, karena pilihan saat ini menentukan masa depan nanti.