Kenapa guru harus galak?
8:02 AM
Tanpa tanda jasa, salah satu kiasan cantik yang
disematkan untuk seorang guru. Membaca kalimat itu saja, tergugah di benak
bahwa guru seakan pahlawan yang dengan tulus, baik hati dan ikhlas memberikan
pengetahuan bagi murid-muridnya. Berjuang membekali murid dengan ilmunya, tapi tidak
mengenal balasan saja. Ah, entah itu hiperbola atau memang kenyataannya.
Saya
sendiri seorang guru, saya mengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing dan
guru bahasa inggris juga di salah satu perguruan tinggi swasta. Tentunya, saya
juga pernah digurui. Sangat tidak mungkin, saya menjadi seperti ini tanpa
pahlawan tanpa tanda jasa itu, apalagi yang paling berbekas di kenangan adalah
guru yang paling ‘ditakuti’.
Mungkin
pengalaman menjadi guru saat ini yang membuat saya secara tidak sengaja
mengkomparasi dan bergumam belum mengerti, ‘kenapa dulu, Bu Guru dan Pak Guru harus
galak?’
Pengalaman
dengan Guru Unik
Kembali
ke 10 tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMP. Matematika,
adalah pelajaran yang paling saya senangi. Sayang sekali, semua berubah saat pertemuan
pertama dengan Pak Guru itu. Salah sedikit saja, kepala dan perasaan saya yang jadi
korbannya, entah itu dilempar dengan kapur sampai juga diomelin dan diejek yang
menyinggung masalah fisik, keluarga, status sosial dan lain-lain
Tidak
hanya sampai di situ, 5 tahun setelahnya, saya duduk di bangku perkuliahan. Layaknya
Déjà vu, ini terjadi lagi. Bahkan untuk berangkat ke kampus saja, perasaan saya
selalu waswas. Takut salah, takut tidak bisa menjawab. Sang dosen itu seakan
dewa yang tahu segalanya. Tidak boleh ada murid yang bertanya. Belajar
dikelilingi rasa cemas dan takut. Bukankah itu justru memperlambat penyerapan
pengetahuan? Atas pertimbangan apa dengan membuat siswa tertekan bisa
membuatnya lebih cepat paham? Apakah belajar seseram itu?
Kini semua itu sudah menjadi bagian sejarah. Sejarah yang menjadi contoh untuk saya. Contoh untuk tidak akan pernah saya tiru!
Marah karena murid
bodoh
Bagaimana definisi
pintar? Bagaimana mengukur tingkat kecerdasan? Apakah orang yang pintar
matematika bisa disandingkan dengan yang pintar bermain musik?
Inilah fenomena yang
sangat menggelitik saya. Guru saya dulu cepat sekali emosi hanya
karena ilmu yang diberikannya tidak dapat ditangkap dengan baik oleh seluruh
muridnya, dan berujung dengan marah, kekerasan verbal bahkan fisik. Tahukah
mereka bahwa latar belakang intelejensi manusia berbeda-beda?
Pada tahun 1983,
Howard Gardner meluncurkan buku Frames of
Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Dalam bukunya beliau
mengungkapkan bahwa intelejensi manusia dibagi menjadi 7 pilar yakni:
Visual-Spatial (gambar secara visual), Bodily-Kinesthetic (bergerak secara
aktif), Musical (suara dan ritme), Interpersonal (berinteraksi langsung dengan
teman sekelasnya), Intrapersonal (belajar secara mandiri), Linguistic (dengan
bahasa), Logical-mathematical (berdasarkan logika dan penghitungan).
Dengan bijak, Gardner
menyarankan bahwa pembelajaran sampai saat ini hanya terbatas pada linguistik saja,
dan mempertegas untuk memvariasikannya pada jenis intelejensi yang lain:
“Students learn in ways that are identifiably distinctive. The broad spectrum of students - and perhaps the society as a whole - would be better served if disciplines could be presented in a numbers of ways and learning could be assessed through a variety of means."
Jadi, bahkan kecerdasan tidak bisa diukur antara satu orang dengan lainnya hanya dengan mengambil salah satu pembanding saja.
Lalu bagaimana seharusnya?
Bukan maksud untuk menggurui, tapi hanya ingin
berbagi opini. Sekarang jaman sudah jauh berubah. Guru galak bukan jamannya
lagi. Siswa tidak akan bisa belajar dengan baik jika dalam kondisi stress dan
di bawah tekanan. Bahkan belajar itu harusnya menyenangkan. Kalaupun murid belum juga mengerti, kemungkinan besar Gurunya sendiri yang belum mengerti bagaimana cara menyampaikan dan mengajarkannya.
Ada banyak referensi
saat ini yang mengganti istilah guru atau teacher menjadi: tutor, controller,
prompter, resource, assessor, organizer, bahkan participant. Intinya, guru
hanyalah memfasilitasi murid agar dapat belajar dengan nyaman dan mudah
dimengerti.
Menurut saya
pribadi:
Guru itu menjadi
panutan bukan memicu ketakutan
Guru itu membimbing
bukan hanya asal tuding
Guru itu memberikan
koreksi bukan menyalahkan tanpa basa-basi
Guru itu memacu
semangat bukannya membuat patah semangat
Sekian dari seorang
murid yang juga masih belajar menjadi guru.
Salam untuk semua Guruku yang menginspirasi :)
referensi: www.tecweb.org/styles/gardner.html
0 komentar