Menerka hidup

2:35 PM

Bagiku:
hidup itu tidak pernah memberikan kepastian,
hidup itu tidak pernah menyodorkan jawaban,
hidup itu seperti di antara nyata dan angan


Ketika melintasi orang tadi, tertawa riang, seakan hidup tidak pernah menyisakan duka, serasa hidup selalu diselimuti senang. Atau mereka hanyalah memakai topeng?

Hidup menuntut dan memaksa untuk belajar banyak hal. Wajar, topeng adalah alibi paling bijak untuk menutupi setiap keraguan, sehingga sanggup pura-pura bernyanyi dalam pahitnya hidup, atau berlagak nestapa dalam manisnya hidup.

Katanya, hidup itu panggung besar bagi setiap orang untuk mengukir ceritanya sendiri. Demi hidup terbaik (versi mereka), berbagai cara dilakukan, seperti berlomba, bersaing, bahkan saling menjatuhkan adalah hal yang biasa, tak perlu untuk dibinisa, pungkasnya.

Tapi, untuk apa berlomba? Untuk apa bersaing? Untuk apa menjatuhkan? Apakah hidup memang memaksa kita untuk menuju sempurna? menjadi yang paling hebat? Apakah dengan cara yang licik itu wajar? Apakah memang hidup sekejam itu? Apakah benar itu tuntutan hidup? Atau hanya tuntutan manusia lainnya? Satu spesies yang sama dengan kita, tapi entah dengan persepsi yang tidak akan pernah sama.

Satu orang yang terlihat ‘baik’ belum tentu baik dan satu orang yang terlihat jahat belum tentu jahat. Kita lahir seakan dibekali beragam topeng, yang tanpa kita sadari, sering kali kita memakainya, silih berganti bergantung pada siapa kita berbicara dan saat kapan kita berbicara. Bahkan, topeng yang kita pakai bisa saja mengkhianati topeng yang lainnya. Hidup ini begitu kontras, seakan hitam dan putih tidak pernah melebur menjadi abu.

‘Baik’. Satu kata, penuh misteri. Katanya, orang yang paling baik pun, pasti akan tetap cela bagi orang lain. Seberapapun usaha kita membaikkan diri, atau memuaskan orang untuk melihat kita ‘baik’ hanya akan berujung pada nihil. Orang lain tidak akan pernah puas dengan kebaikan, bahkan mereka pun tidak akan pernah puas dengan kebaikannya sendiri dan dengan kebaikan hidupnya, apalagi pada orang lain?

Katanya lagi, hidup itu ketika bisa menghidupkan mimpi: popularitas, harta dan kekuasaan. Mungkin itu mimpi idaman para manusia. Namun siapa dan apa yang menentukan ini? Diri kita sendiri? Ketiga hal tadi hanya akan didapat jika mendapat pengakuan dari manusia lainnya, bukan hanya sekedar mengaku dengan ego.

Kita tidak pernah bebas menentukan, kita tidak pernah terlepas dari ikatan. Apa yang dikatakan benar dan baik hanya berdasarkan apa yang sebenarnya mayoritas orang katakan. Kita terpaku dalam norma, terbenam dalam lika-liku budaya dan tergiring dalam evolusi.

Terlepas dari itu, banyak yang akhirnya mampu menghidupkan mimpi itu, tidak sedikit pula yang kemudian menjadi orang hebat. Mungkin, mereka adalah yang mampu mengabulkan apa yang orang lain harapkan, sehingga pengakuannya tersohor melambungkan namanya. Albert Einstein mungkin saja tidak akan menjadi orang hebat jika tidak mampu menciptakan rumus atom, lagi-lagi suatu penemuan yang diharapkan orang lain. Nelson Mandela tidak akan menjadi orang hebat jika tidak mampu menciptakan perdamaian dunia, sekali lagi, bukti bahwa hidup itu pencapaian memuaskan orang lain.

Kita berjalan dalam hidup yang seakan ritmenya sudah diatur, diatur dengan rapi dalam perubahan dari waktu ke waktu, dengan polanya sendiri, mengalir sesuai arusnya. Layaknya planet yang tidak akan pernah lepas dari orbit, dengan sesekali diselingi komet yang seketika lugu menghantam, sampai nanti waktu akan benar-benar terhenti.

---


Lamunan ini juga seketika terhenti, tersadar bahwa orang yang tertawa tadi sudah entah dimana. Tersadar pula aku sudah sampai di tempat tujuan. Tapi, belum sepenuhnya tersadar dengan tujuan hidup ini, mungkin ada baiknya aku meniru orang tadi, tertawa riang, seakan hidup tidak pernah menyisakan duka, serasa hidup selalu diselimuti senang. Dalam setiap kesederhanaan uniknya hidup. 



You Might Also Like

0 komentar