Jangan Mati di Bali !
7:30 AM
Adalah hal
yang biasa ketika Bali menjadi perbincangan dunia. Banyak turis domestik dan
mancanegara berdatangan ke Bali menikmati keindahan alamnya, keunikan budayanya
dan disambut dengan keramahan masyarakatnya. Begitu kompleksnya keanggunan
Bali, bahkan tak sedikit dari turis-turis itu yang menetap di Bali, menjadi
orang Bali, sampai akhirnya mengharapkan meninggal di tanah dewa-dewi ini.
Tapi hal
yang tidak biasa, ketika Gde Aryantha Soethama dengan lantang menyerukan agar
Jangan Mati di Bali, dalam bukunya ini, beliau mengungkapkan berbagai polemik dan
dilemma yang sebenarnya terjadi di belakang panggung gemerlap Bali yang memukau
wisatawan ini. Beliau bercerita bagaimana Bali berpuluh tahun yang lalu,
membandingkannya dengan saat ini dan memprediksi bagaimana jadinya Bali ketika
hanya ‘tetap seperti saat ini’. Beliau mengungkapkan bagaimana Bali bukan milik
orang Bali lagi, konflik ironis yang bahkan antara orang Bali itu sendiri,
prioritas niskala, sampai adanya mayat yang tidak dikubur. Bahkan, meliputi
hal-hal seperti: apakah Bali mengenal pornografi?
Karena saya
sendiri orang Bali, jadi saya sangat tertarik membaca lembar per lembar buku
ini, menyadarkan saya bahwa Bali bukannya sedang di puncak kejayaan, tetapi
Bali sedang dalam bahya dan butuh pertolongan. Dari 74 Essay yang beliau tulis
di buku ini, satu paragraf yang sangat berkesan bagi saya, dengan judul seleksi alam nasib Bali:
...tradisi Bali yang tak mau diubah itu sebagai dinosaurus, binatang purba, besar, kuat, ganas, galak, digjaya, namun akhirnya punah karena tidak kuasa menghadapi seleksi alam.
Ada baiknya, orang Bali mengingat teori evolusi dan seleksi alam Charles Darwin, tatkala mereka sibuk larut dalam kegiatan ritual adat dan agama yang menyita banyak waktu, tenaga dan biaya. Betapa hanya mereka yang kuat, cerdik, akan menang, sehingga kegiatan ke alam niskala (tidak tampak) harus selaras dengan skala (duniawi). Kerja untuk yang sakral, hendaknya disepadankan dengan aktivitas sekuler dan profan. Yadnya (persembahan suci) untuk Hyang Widhi sepantasnya diikuti oleh pengorbanan demi kemanusiaan. Hanya dengan kecerdikan dan keberanian, orang Bali tak bernasib sama dengan dinosaurus (Soethama, 2011:272).
0 komentar