Jangan Anggap Remeh Bullying
11:15 AM
Kali ini saya mendapat kabar (lagi) dari Ibu, bahwa adik
kembali dibully teman sekelasnya. Saya kesal sekaligus heran kenapa bisa ini
terjadi lagi. Keluarga kami memang tidak pernah ‘terlatih’ untuk menghadapi
bagaimana kerasnya dunia luar yang seringkali tanpa belas kasihan. Keluarga
kami selalu berlimpah perhatian dan kasih sayang, tidak pernah sekalipun
mendengar ujaran kasar yang memekakkan telinga. Saya dan adik dididik oleh
orang tua untuk menghargai orang lain, bersikap sopan, berkata santun, bahkan
dengan orang sebaya sekalipun. Jadi, ketika kami mendapati perlakuan jauh
berbalik dari didikan tersebut, kami tidak tahu harus berbuat apa. Sedih, sudah
pasti. Putus asa, sempat terpikir.
Kami bahkan heran kenapa ada anak sekecil itu, sudah bisa
menyakiti perasaan bahkan fisik orang lain. Kemana saja orang tuanya selama
ini? Apa saja yang dilakukan orang tuanya selama ini? Mungkin, maaf saja, saya
harus menyimpulkan bahwa mereka telah gagal menjadi orang tua, karena telah
membangun karakter seorang ‘kriminal’
Kriminal? Mengapa dengan mudah saya menulis kata itu. Iya,
Bullying bisa membunuh. Entah membunuh mental, atau bahkan berujung kepada
bunuh diri si korban. Berdasarkan data, terdapat… akibat Bullying. Bahkan baru
saja, saya membaca berita di sini, bahwa ada anak berumur 13 tahun berakhir
dengan bunuh diri karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk
bagaimana menghadapi si pembully, dan kembali menjalani kehidupan normal
layaknya anak-anak lain seusianya.
Sekolah. Seringkali tempat ini menjadi media bagi para
pembully beraksi. Sayangnya, pihak sekolah juga seringkali lepas tangan. Saya
pernah melapor kasus adik saya kepada gurunya. Bukannya solusi yang saya dapat,
mereka hanya acuh dan dengan enteng menjawab, “Ah, itu karena adikmu yang
terlalu kalem saja.” Setahu saya, guru adalah orang tua kedua murid, yang
seharusnya tidak hanya mendidik dan mengajar, tapi juga mengayomi. Menyedihkan
sekali jika ternyata kualitas guru serendah itu ketika mengetahui anak didiknya
mendapat perlakuan yang tidak layak dari teman sekelasnya.
Kemudian, pendidikan budi pekerti ataupun bimbingan
konseling bukanlah alternative, karena seakan hanya diisi dengan mengerjakan
pilihan ganda di LKS, bukannya pembelajaran tentang bagaimana bersikap layaknya
seperti ‘manusia yang beradab’. Pilihan ganda yang bahkan mafia paling sadis
sekalipun bisa berbohong untuk sekedar menyilang jawaban yang katanya paling
benar.
Sayapun pernah menjadi korban bullying, beruntung dan
bersyukur saya punya Ibu, yang menjadi teman sekaligus motivator luar biasa. Satu
pesan Ibu waktu itu: Balas ejekan mereka dengan elegan, dengan prestasi, bukan
dengan omongan sampah seperti yang mereka lakukan.
Satu hal yang pasti, mereka merendahkan saya, itu berarti
saya sebenarnya lebih tinggi daripada mereka. Bodohnya, mereka tidak bisa
menyamai level saya sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan menurunkan
level saya. Dari situ saya belajar bahwa: saya dan mereka tidak pernah selevel!
Jika saya memperlakukan hal seperti yang mereka lakukan kepada saya, karakter
saya sama saja seperti mereka.
Apa yang sebenarnya dicari si pembully? Jawabannya singkat:
Pleasure. Mereka merasa senang dan hebat akan reaksi kita, semakin kita
melawan, kesal atau bahkan menangis, semakin mereka akan merasakan kepuasan. Jadi,
saat itu, saya menghadapi mereka dengan belajar bersikap datar. Ejekan itu saya
anggap kicauan burung yang bersiul lalu. Saya tidak melawan apalagi menjawab
dengan satu kata pun, untuk apa? Mereka tidak selevel, mereka tidak akan
mengerti dengan ujaran saya yang sudah di atas mereka. Kemudian saya yakin,
bahwa, apapun tentang saya, bagaimana saya, siapa saya, bagaimana rupa saya
hanya saya sendiri yang tahu, hanya saya sendiri yang bisa menentukan.
Kesedihan dan kebahagiaan saya bukan mereka yang mengatur. Saya tidak akan
menangis karena mereka! Saya tidak akan menyerah dengan kesuksesan saya kelak
hanya karena discouragement dari mereka!
Tapi memang semuanya perlu waktu. Pada akhirnya, mereka akan
bosan karena saya tidak menunjukkan reaksi seperti yang mereka harapkan. Pada
akhirnya, mereka akan tercengang bahwa saya sama sekali tidak seperti apa yang
mereka hujatkan. Dan, kali ini saatnya pembuktian. Saya masih dalam proses
untuk itu. Namun, sudah mulai terlihat hasilnya, bukannya meremehkan, pembully
saya itu jauh di belakang saya, baik dari segi pendidikan, pengalaman dan
pekerjaan. Namun saya belum mau berbangga hati, saya belum puas ‘menampar’
mereka dengan elegan.
Stop Bullying. Bantu anak, adik, kakak, teman atau saudaramu
dengan memberikan dukungan dan tumbuhkan kembali self esteem mereka. Jangan
biarkan pembully merasa berhasil dan tertawa puas dengan pembunuhan karakternya
terhadap orang lain.
Satu petikan untuk kamu yang merasakan hal yang sama:
No one can make you feel inferior without your consents
(Eleanor Roosevelt)
0 komentar