Kita semua sebenarnya perempuan?

10:19 PM

Perempuan harus begini, laki-laki harus begitu. Katanya, perempuan harus pintar memasak dan mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki harus pintar cari uang dan mapan. Katanya lagi, perempuan itu lemah, sedangkan laki-laki harus kuat sebagai sosok pelindung. Kehidupan sosial kita selalu dibatasi dengan gap gender.

Bali, yang notabene masih memegang kuat tradisi patrilinial, bisa menjadi salah satu contoh akan fenomena ini. Sudah banyak terdengar kisah tentang seorang anak yang apapun keinginannya tidak dipenuhi hanya karena dia perempuan. Sudah banyak pula cerita tentang para orang tua yang lebih memberikan kasih sayang ‘berlebih’ kepada anak laki-lakinya. Dalam tradisi Bali, laki-laki dianggap pemegang kekuasaan, pewaris seluruh harta, dan dianggap yang satu-satunya kelak akan merawat orang tua, sedangkan perempuan? Hanya pelengkap saja.

Bali adalah sebuah tempat unik kehidupan perempuan. Di sini orang bisa menyimak tak cuma fisik, juga emosi. Tak hanya ketidakberdayaan, juga peran (Soethama, 2014:8)

Bali sebenarnya mengakui perlunya dan pentingnya perbedaan. Kita mengenal istilah Rwa Bhineda, atau dua perbedaan yang dapat memunculkan kehidupan. Namun, bagaimana ketika perbedaan itu justru berpihak atau mengesampingkan bagian lainnya?


Setelah puas tertegun mengamati isu ini dari perspektif sosial, saya ingin mencoba melihat dari segi sains. Saya semakin tertegun lagi, ketika tahu bahwa kita semua sebenarnya perempuan. Video ini membuka mata saya bahwa kita memang terlahir berbeda tetapi kita berawal dari gender yang sama. Bahkan mungkin istilah ‘gender’ hanya kita sendiri yang sengaja menciptakan karena salah satu kelompok ingin mendapatkan keuntungan yang lebih.



Adat patrilinial terbentuk karena kontruksi sosial yang turun-temurun, kemudian dianggap kebiasaan dan norma dan diterapkan hingga saat ini. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan tapi menyadarkan dan bersama-sama berpikir kembali, sudah tepatkah tindakan kita?

Memang, kita tidak bisa menentukan mana adat yang baik atau buruk, tetapi mana adat yang aplikatif atau tidak untuk saat ini. Sekarang, jaman sudah berubah. Modernitas muncul mendatangkan harapan akan kesetaraan. Pertanyaannya, apakah memang semua orang mau menyambut harapan tersebut?


Tapi ingatlah lagi, bahkan laki-laki dulunya adalah perempuan.

You Might Also Like

0 komentar