Social Media: to share or sneer?

12:24 AM

Kita semua memang makhluk sosial. Kita perlu dan harus bersosialisasi. Dengan perkembangan jaman dan teknologi yang sangat pesat ini, sosialisasi tidak lagi dengan hanya tatap muka, tetapi juga bisa melalui benda mati, contohnya dengan ponsel cerdas. Cukup ditambah jaringan internet dan tingkat kenarsisan yang tinggi, kita mampu bersosialisasi dan memberikan informasi tentang apa saja kepada siapa saja.

Tidak perlu belajar membaca pikiran orang lain, detik ini juga bisa kita ketahui profil orang siapa saja dari Facebook. Tidak perlu memperdalam intuisi, saat ini juga kita tahu apa yang dia lakukan, lengkap dengan siapa saja dan dimana dari path. Ada banyak lagi sosial media lainnya seperti path, line, twitter, bbm, youtube, bahkan blog ini salah satunya.

Dua teman saya yang
kecanduan sharing di sosmed
Salah seorang teman saya juga pernah beropini bahwa sosial media kini seakan membalikkan Teori Maslow, karena justru kebutuhan dasar yang kita inginkan berubah menjadi Aktualisasi diri, bukan Physiological lagi. Lihat saja, ketika di restoran, saat makanan datang, kita lebih memilih untuk mengambil foto dan share ke sosial media dibanding langsung memakannya. Kita butuh aktualisasi terlebih dulu baru kemudian memenuhi kebutuhan fisik.

Seiring perkembangannya, kehadiran sosial media sebenarnya dibuat dengan tujuan yang sangat mulia yakni agar kita bisa berbagi (share). Namun, batasan ‘berbagi’ itu berkembang liar, bahkan tanpa batasan. Kini mulai muncul beberapa postingan di sosial media, sesuatu yang sebenarnya privasi justru dibawa ke ranah publik. Sampai juga, semua yang privasi dianggap wajar untuk dikonsumsi publik. Semua orang melihat, semua orang berkomentar. Ada yang berkomentar langsung, ada yang dipendam dalam hati. Parahnya, tidak semua komentar berujung positif, tetapi  justru menyindir dengan nada mencemooh (sneer)


Agar lebih jelas, sekedar ingin memberikan contoh. Ada yang mengirimkan pos tentang foto dirinya yang sedang menangis dengan caption sungguh mengenaskan. Apakah tidak lebih baik dia berbicara dengan orang yang bersangkutan? Ada lagi yang membuat status nada kesal bahkan dengan huruf kapital ditambah tanda seru (agar terlihat lebih galak) kepada seseorang yang bahkan saya tidak tahu siapa. Apakah tidak lebih baik langsung menyelesaikan masalahnya dengan orang tersebut?

Ayolah, yang melihat status, postingan atau foto kita bukan satu orang itu saja. Dia hanya satu berbanding ribuan bahkan puluhan ribu ‘teman maya’ yang kita punya. Ketahuilah juga, beberapa teman kita bahkan tidak peduli dan tidak berempati dengan apapun yang kita alami. Kata-kata itu bahkan bisa diinterpresikan berbeda oleh orang lain, atau justru bahkan bukan orang yang dimaksud yang merasa disindir sampai tersinggung. Yah, salah sasaran!

Kalau memang sosial media justru menimbulkan konflik ketimbang sosialisasi, maka saya ingin menanyakan kembali pernyataan sebelumnya, apakah memang benar “kita perlu dan harus bersosialisasi”?

Namanya saja sosial media, media untuk bersosialisasi. Tapi, sebatas apakah sosialisasi itu?

Dulu, saya punya twitter. Ada beberapa informasi terkini langsung diupdate melalui sosmed ini, tapi saya cepat sekali tidak betah karena hanya dibatasi beberapa karakter. Waduh, saya tidak bisa berbicara terlalu sedikit! Dulu, saya punya path. Mungkin tidak perlu saya deskripsikan lebih jauh lagi karena pasti semua orang sudah tahu. Intinya, aplikasi ini memungkinkan kita untuk menguntit kehidupan seseorang mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Tapi saya juga cepat sekali tidak betah, tidak ada beberapa bulan kemudian, aplikasinya sudah saya hapus.

Maafkan saya yang gaptek ini, tapi menurut saya, saya lebih tertarik untuk membaca buku dibanding membaca kehidupan orang lain. Saya lebih suka menghabiskan setiap detiknya untuk bercengkarama dengan orang terkasih dan terdekat, dibanding memberikan emot di postingan orang lain. Saya lebih suka membandingkan bagaimana saya dulu dan apa yang harus saya lakukan nanti, ketimbang membandingkan ‘kesuksesan dan kehebatan’ orang lain dan mengeluhkan keterbelakangan kita.

Oke, mungkin saat ini saya yang melakukan sneering.

Saya akui saya suka menggunakan sosial media. Gara-gara kecanggihan ini, saya bisa bertemu teman baik masa kecil saya. Saya bisa tetap terhubung dengan teman saya yang di seberang pulau. Saya tetap merasa dekat walaupun betapa jauhnya jarak yang membatasi. Saya tahu informasi kekinian. Apalagi, saya juga bisa stalking gebetan.

Dan terakhir, saya bisa pamer.

Ups.
Social Media is to share, not to make anyone else sneer.

You Might Also Like

0 komentar