Satu bungkul kisah di Taman Bungkul

1:40 AM

Saya selalu memiilih duduk dekat jendela kalau bepergian dengan pesawat, walaupun saya akui saya sedikit takut dengan ketinggian. Akan tetapi, pemandangan yang dihadirkan saat pesawat terbang lepas landas selalu membawa romantika dibumbui dengan sedikit drama. Jadi, begitu rasanya meninggalkan pijakan bumi. Bumi dimana tempat bertarung melawan arusnya hidup, bermain dan berjudi dengan mimpi, bahkan bertaruh jerih payah demi kebahagiaan dan kesuksesan atau mungkin hanya sekedar apresiasi dari manusia lainnya. Di sana, bumi yang kita pijak, sejenak ditinggalkan, sampai mempertemukan kita dengan tempat yang sedemikian asing.

Sekarang saya sampai di Surabaya, masih siang. Tentu saja bisa begitu, karena jam di sini lebih lambat satu jam dibanding di Bali. Walupun hanya beberapa kilometer ditempuh, tetapi ternyata sudah banyak sekali perbedaan yang menggradasi. Terutama bahasa dan orang-orangnya. Mungkin ini yang membuat para traveler kecanduan. Menemukan sisi baru yang unik di tengah kejenuhan hiruk pikuk kehidupan yang monoton.

Sekarang sampai di hotel, masih siang juga. Bedanya hanya satu. Saya mulai lapar. Salah satu hal yang harus dilakukan ketika sampai di tempat baru adalah: mencoba makanan khas! Beruntung tempat saya menginap dekat dengan taman yang ngetop di Surabaya itu. Yap, Taman Bungkul. Ada berbagai jenis makanan yang bisa dipilih. Setelah puas menyantap makan siang, saya kembali lagi ke hotel. Ada yang unik juga dari hotel ini, yaitu kepeduliannya dengan alam. Tentu saja ini sangat mendukung perkembangan sustainable tourism.

Kepedulian hotel terhadap alam
Pikir saya, mungkin sebaiknya jalan-jalan di malam hari saja, karena saat siang hari saya ke sana, taman bungkul ramai sekali. Ternyata saya salah! Justru malam lebih ramai! Waktu itu menunjukkan pukul 10 malam. Sejenak berkeliling, saya melihat  berbagai kisah unik berkumpul menjadi satu. Ada yang bercengkrama dengan teman-temannya. Ada orang tua yang berlarian bermain dengan anak-anaknya. Ada lansia yang dengan gembiranya jalan-jalan menikmati udara malam yang sejuk. Ada juga yang asyik berfoto dengan menjetikkan dua jari tangan membentuk huruf V. Termasuk saya salah satunya. Hehe..





Saya semakin penasaran dengan kata Bungkul. Kalau dalam bahasa bali, bungkul itu artinya butir atau buah. Namun, untuk memastikan, saya menanyakan salah satu masyarakat di sana, yang kebetulan juga jualan lumpia khas Surabaya. Sedikit ingin menginfokan, lumpia ini unik sekali, jadi makannya harus dengan daun bawang mentah. Setelah berbincang-bincang dengan si Ibu (yang saya lupa nanya namanya siapa), ternyata Bungkul itu adalah nama Kiai. Jadi, beliau termasuk salah satu orang penting yang berperan besar dalam menyebarkan agama islam di Surabaya. Bisa dibilang, taman bungkul ini satu paket. Ada hiburannya dan ada makna sejarah serta budayanya juga.

Lumpia Khas Surabaya
Uniknya, banyak warga yang mengatakan kalau kesuksesan taman bungkul ini sampai mendunia. Setelah saya cek, ternyata taman ini memang pernah mendapat penghargaan internasional pada tanggal 26 November 2013 di Fukuoka, Jepang. Itu artinya taman ini merupakan satu-satunya taman kota di Indonesia yang Go International! Semoga yang lain menyusul ya. Selain itu, yang paling mencengangkan dari info Si Ibu adalah “Segini sepi namanya, dik!” Saya jadi tidak habis pikir kalau ramainya gimana. Sepi aja segini. Mungkin ada sekitar ratusan orang. Saya jadi mikir apa mereka besok tidak sekolah atau kerja ya? Kan sudah malam. Atau mungkin karena terlalu hausnya dengan hiburan?

Namun, secara keseluruhan saya benar-benar salut. Magnet Taman Bungkul sebagai daya tarik sangat luar biasa. Dari balita sampai orang tua. Dari yang belajar bareng sampai yang nongkrong bareng. Semuanya menjadi satu bungkul, satu buah, menyatu, seakan-akan gaduh dengan keceriaan masing-masing.

Kalau dibandingkan dengan Bali, Taman Bungkul itu seperti campuran berbagai tempat. Taman bungkul itu seperti di pantai kuta, ada orang pijat dan bikin tato temporary. Taman Bungkul itu seperti Renon, ada orang jualan lumpia dan jajanan lainnya. Taman bungkul itu seperti di Puputan, ada anak-anak kecil bermain riang ditemani orang tuanya. Taman bungkul itu seperti di Pasar Kreneng, ada banyak pilihan kuliner kaki lima. Taman Bungkul juga seperti pasar sukawati, ada yang menjual pernak-pernik perhiasan dan jasa melukis wajah.

Sekarang saya kembali ke Hotel. Mendadak teringat lagi kalau saya seharusnya bersiap untuk wawancara besok. Wah, sudahlah sepertinya saya juga terhanyut kegembiraan di taman Bungkul.

You Might Also Like

0 komentar