Belajar, tabu atau babu?

9:28 PM


Saya bukan orang yang pintar-pintar banged. Kalau iya, pastinya saya akan mendeskripsikan diri, setidaknya seperti ini: masih muda, kuliah dengan sistem percepatan, kaca mata tebal, kutu buku, kuliah di kampus dengan predikat luar biasa di dunia semacam Oxford atau Cambridge, punya teman dari seluruh penjuru dunia dengan pemikiran yang brilian, sering mendapatkan beasiswa dan dicari-cari perusahaan besar untuk diperkerjakan (tidak perlu melamar pekerjaan lagi), IPK dan nilai IQ di atas rata-rata, bisa berbicara lebih dari 5 bahasa asing, sering memenangkan kompetisi internasional, dan mungkin masih banyak lagi..

Tapi saya juga bukan orang yang tidak terlalu bodoh. Setidaknya saya pernah merasakan berada di kelas khusus yang katanya Sekolah Berstandar Internasional atau SBI (guru-gurunya saat itu mengajar dengan sedikit dipaksa untuk berbahasa Inggris), merasakan sejuknya ruangan kelas karena dulu hanya SBI yang menggunakan AC sedangkan teman-teman saya yang lain harus kipas-kipas kepanasan.
Kemudian saya juga pernah ikut lomba menulis artikel (walaupun hanya menang sekali dua kali). Saat kuliah, saya juga mendapat predikat lulusan terbaik kedua (setidaknya terbaik saat periode itu). Lalu, ikut ajang duta bahasa (walaupun tidak menang, wajar saja mungkin karena saya tidak sesempurna itu dalam hal brain, beauty dan behavior, tiga moto yang sangat lumrah didengungkan). Sampai ketika saat S2, saya yang pengalamannya masih minim begini harus presentasi di depan tokoh hebat seperti dekan, dosen, praktisi bahkan mahasiswa S3 dalam seminar. Belum lagi harus mengajarkan orang-orang asing bahasa Indonesia, padahal bahasa Prancis dan Inggris saya masih sedikit belepotan. Yah, setidaknya seperti itu.

Kalau saya kembali berpikir ke belakang, saat SMP dan SMA, lucu sekali, teringat bagaimana saya menyesali menjadi orang yang ‘lumayan’ pintar di kelas. Setiap harinya sepulang sekolah, selalu merenung, memutar berbagai pertanyaan yang entah harus saya ajukan ke siapa. Pertanyaannya selalu untuk apa? Untuk apa belajar kalau sering dicontekin dan nilainya ujung-ujungnya sama saja dengan mereka yang mencontek dan sama sekali tidak belajar? Apakah belajar hanya seperti itu menilai hasil dan mengesampingkan proses? Untuk apa belajar kalau selalu dibully dan disuruh bikinin tugas dan PR orang lain? Untuk apa belajar kalau yang lebih dibanggakan dan dielu-elukan hanya mereka orang-orang berparas cantik dan ganteng? yang mungkin tujuannya bersekolah hanya untuk pacaran, gossip dan berias semaksimal mungkin. Begitulah kiranya isi pikiran si Devi kecil dulu.

Ketika remaja, umur belasan, sekitar SMP dan SMA, kata ‘belajar’ seakan sesuatu yang tabu. Bahkan ketika detik-detik menjelang ujian, banyak teman-teman dulu mentradisikan mencontek dan lebih bangga untuk bilang ‘aku ga ada belajar, males banged lo’ daripada ‘aku udah belajar sih, semoga nanti hasilnya bagus’. Kalaupun teramat sangat jujur dengan bilang bahwa kita benar-benar belajar, pasti akan keluar guyonan dengan bilang ‘wih rajin banged lo’. Kalau dilihat dari makna pragmatisnya, kalimat itu seakan-akan mengimplikasikan bahwa belajar tidak seharusnya dilakukan, seakan-akan belajar tidak perlu, entah karena mereka merasa sudah pintar atau bagaimana.

Sekarang saya sudah melewati fase itu. Fase dimana saya meragu nasihat orang tua bahwa ‘dengan belajar akan membuka segalanya’. Meragu hanya karena lingkungan yang menghasut demikian. Kalau dulu saya sering bertanya sendiri, sekarang setidaknya saya sudah bisa menjawab sendiri, sekaligus mungkin menitipkan pesan untuk mereka yang mungkin juga bertanya-tanya dan mengalami hal yang sama. Ini dia, hanya sedikit pesan untuk orang-orang geek seperti saya:

Ingat ya dik, ketika berumur di atas 20an, orang-orang yang memiliki tingkat intelejensi, logika dan semangat belajar yang lebih tinggi dari yang lainnya akan lebih dihormati, dihargai dan diperhatikan. Termasuk, akan sangat lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Orang-orang itu juga akan mendapat status yang lebih tinggi dibandingkan hanya mereka yang populer dan berparas cantik atau ganteng.

Cantik atau ganteng, ngetop, populer, style yang paling update, kaya raya, sering sosialita, follower dan liker yang banyak di sosial media, belanja barang-barang mewah dan pergi ke tempat-tempat mahal, mungkin itu semua dianggap sebagai indikator ‘sukses’ para remaja. Boleh saja kalau mampu, tapi parahnya, ada beberapa dari mereka yang terlalu memaksakan. Sampai-sampai lupa bahwa itu sebenarnya bukan tujuan utama.

Tulisan ini mungkin akan sedikit kurang berkenan untuk beberapa orang, tapi inilah opini, berdasarkan pengalaman yang saya rasakan sendiri, dan tentu saja, siapa saja bisa menyangkal opini, bukan?

Namun, bagi saya:

Ilmu dan belajar itu bukanlah hal yang tabu, melainkan kita akan menjadi babu tanpanya.

Babu yang hanya bisa mengikuti arus jaman, tanpa tahu dan tanpa sadar akan membuat kita terjerumus nantinya.


"Knowledge is love and light and vision (Helen Keller)"

You Might Also Like

1 komentar