Tentang Kehilangan dan Bahagia

6:38 AM



Disclaimer:
Tulisan ini sedikit melankolis, dan sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak siapapun. Murni hanya curahan isi hati, mungkin bisa juga untuk menasehati.

***

Bulan lalu, Bulan Februari yang katanya bulan penuh kasih sayang, bulan yang penuh cinta dan paling ditunggu. Justru, bulan itu adalah bulan paling mendung bagi saya. Ditinggalkan seseorang yang saya 'anggap' peduli dan sayang dengan saya adalah hal yang rasa sedihnya paling susah dijelaskan.

Marah, kesal, kecewa, sedih dan bingung. Entah mungkin, saya waktu itu tidak menjadi diri saya. Sempat berbicara kasar dan mengurung diri di kamar. Apalagi, apapun yang saya tanyakan kepadanya tidak berujung pada jawaban.  Tidak ada alasan, seakan keputusan itu terjadi begitu saja.

Jujur, saya bukan tipe orang yang mudah percaya. Tapi dengan dia semuanya terasa mudah dan nyaman. Sayapun tidak pernah melihat faktor lainnya, apalagi materi. Justru saya dukung dia untuk lebih baik dari sebelumnya, dan pastinya akan lebih mapan dari saya nantinya.

Menemani dari nol? Apakah menerima pekerjaan, gaya hidup, kehidupan dan semua karakternya belum cukup? Apakah dengan tidak meminta dan memaksa harus begini begitu belum cukup?Bukannya membandingkan, tetapi pekerjaannya yang dulu sangat membuat saya bersemangat untuk mencarikan dia pekerjaan yang lebih baik. Saya sangat merasa yakin 'calon pendamping hidup' saya ini pantas mendapatkannya. Dia pintar dan pekerja keras, dan saya yakin dia pantas punya pekerjaan lebih baik.

Setelah menemani dari nol, mendukungnya, membantunya, selalu menerimanya, lalu setelah dia berhasil dapat segalanya, apa yang saya terima? Saya justru ditinggalkan tanpa alasan, didiamkan perlahan, sampai akhirnya saya menebak sendiri dan dibenarkan olehnya. Perpisahan itu diiyakan begitu saja dengan mudahnya seakan kisah yang lalu tidak pernah terjadi.

Seketika saya merasa sendirian dan bersalah pada diri sendiri, kenapa saya biarkan diri saya jatuh dengan orang yang salah? Saya menganggap diri saya wanita terburuk, sampai dia memilih 'perempuan' yang lebih baik. Saya menyalahkan diri karena sudah terlalu ringan tangan membantu dan mudahnya percaya dengan dia yang sebenarnya hanya 'orang lain'. Saya menjadi bukan saya.

Waktu. Benar, satu hal yang bisa menyembuhkan luka adalah waktu. Perlahan saya disadarkan, bahwa bukan hanya dia yang menjadi dunia saya. Masih banyak hal yang harus saya kerjakan, dan masih banyak orang yang bahkan 'lebih' peduli dan sayang dengan saya yang seharusnya saya perhatikan.

Saya beruntung ditemani keluarga yang selalu peduli dengan berbagai 'tantangan' yang saya lewati. Saya beruntung dikelilingi teman-teman terbaik yang selalu ada bersama saya ketika jatuh.

Dia bukan apa-apa dan siapa-siapa.

Menyesal? Sudah tidak lagi. Saya justru orang beruntung yang diselamatkan Tuhan untuk tidak terlalu berlama bersama dengan orang yang salah.

Merasa bersalah berbuat baik? Anggap saja itu menambah karma baik saya dan biarkan urusan dia dengan karmanya itu kelak. Ini juga tidak berarti saya berhenti untuk berbuat baik. Karma does exist and it always does.

Peluang baru? Ada kalanya Tuhan harus memusnahkan yang lama untuk memberikan ruang bagi yang baru. Semua yang 'kotor' harus dibersihkan dulu sebelum layak dipakai lagi.

Satu hal yang pasti adalah tidak pasti. Hidup ini selalu berubah.

Ketika senang, berbahagialah dan nikmati itu, karena kebahagiaan tidak kekal dan akan segera berlalu. Begitu pula ketika sedih, jangan terlalu lama terlarut, karena duka tidak akan kekal dan akan segera berlalu.

***

Bulan ini, bulan maret, adalah bulan musim semi bagi saya :)

You Might Also Like

0 komentar