Angka menunjukkan kualitas !

6:57 AM


Pintar, bodoh, cantik, jelek, baik, jahat, semua kata sifat itu relatif yaa. Susah untuk diukur dan ditentukan secara pasti. Semua individu punya standardnya sendiri. Tapi bagaimana kalau itu semua dijadikan sebuah ukuran, dinilai dan distandardkan hanya dalam beberapa hari saja. Saja!! (biar lebih klimaks)

Hari ini, pagi tadi lebih tepatnya, pengumuman untuk penerimaan siswa smp dimuat secara online di websitenya. Hebatnyaa.. sekarang pemerintah semakin maju, setidaknya pengumumannya lebih high class gitu. Ga perlu repot-repot ke sekolahnya masing-masing, apalagi desek-desekan cuman buat liat pengumuman. tinggal klik rebes deh.

Yak sudah dipastikan si Danan ga dapet SMP negeri yang dia mau. Karena, jujur nih, dia bodoh bodoh pinter. Jadi bodohnya 2 kali, dan pinternya cuman sekali. Jadi wajar kalau hasil NEMnya kecil. Tapi rada empati juga sama orang-orang yang emang pinter tapi hasil NEMnya kecil. Dan sayangnya, saudara-saudara, penentuan lolos tidaknya seorang siswa masuk sebuah SMP negeri favorit adalah dengan menyeleksi berdasarkan nilai NEM itu saja. SAJA!!

Memang ada beberapa sekolah yang juga mengharuskan calon siswa barunya mengikuti tes TPA. Tapi, di Denpasar itu hanya 2 sekolah. Itu pun hanya bagi sekolah yang sudah berstandar internasional.

Tapi, aku masih kurang mengerti kenapa mereka mengadakan tes TPA lagi? Bukannya NEM bisa dijadikan standar? Apa nilai NEM ini tidak bisa dipertanggungjawabkan? Sehingga akhirnya sekolah favorit ini ingin mendapatkan calon siswa yang berbibit unggul dari tes ini. Yaah mari kita tanyakan rumput yang bergoyang. -__-

Kalau flashback lagi nih. NEM itu didapat dari hasil ujian siswa SD selama 3 hari saja. Yaitu berupa pelajaran matematika, bahasa Indonesia dan IPA. Ini berbeda dari ujianku dulu yang ada 5 pelajaran yang di-UN-kan, dengan tambahan lagi Bahasa Inggris dan IPS.

Pontang panting siswa selama 6 tahun itu dipertaruhkan hanya dalam 3 hari. Lekukan angka di raport kita itu seakan seperti lukisan yang menjadi aksesoris pengamatan guru terhadap kita. Seperti kumpulan cerita berupa angka mengenai nilai-nilai akademis siswa. Cerita yang kemudian hanya menjadi dongeng belaka (halah!)



Padahal selama 3 hari itu banyak sekali factor yang mempengaruhi kesiapan otak siswa dalam berpikir jernih. Seperti misalnya gugup. Eh jangan sepelekan gugup loh, gara-gara gugup ini semua yang kita sudah persiapkan sematang-matangnya bisa buyar dan lupa. Padahal ini cuman kekhawatiran dan pikiran kita saja. Yah begitulah kekuatan pikiran. Trus lainnya lagi, seperti sakit. Kalau lagi sehat saja belum tentu kita bisa jawab soal, apalagi dalam keadaan sakit. Sindrom ujian yang paling umum itu sakit perut. Entah kenapa perut paling susah diajak kompromi. Lagi asik-asiknya jawab soal, eh tiba-tiba perut merintah buat nyetor, apalagi nyuruh nyetornya setengah hati, yang harus bolak balik berkali-kali. Trus kapan ngerjain soalnya? Kan jadi ribet ceritanya. Ada juga seperti mereka yang kena masalah, yaa mungkin ayam kesayangan mereka mati disate sama tetangga sebelah. Kan bisa aja itu jadi mengganggu konsentrasi belajar mereka, apalagi masalahnya datang sehari sebelumnya. GALAU deh, mana bisa belajar kalau gitu.

Yaa gitu deh. Jadi kalau misalnya sebrilian Einstein pun disuruh jawab soal tapi dalam keadaan psikologi segenting itu, gugup, sakit atau ada masalah. I’m absolutely sure kemampuan dia menjawab soal tidak secanggih saat psikologinya dalam keadaan baik. Angka sebagai simbolis kuantitas, bagaikan dipaksakan untuk menjadi kualitas intelegensi seseorang. Angka yang didapat dari secuil bagian proses pembelajaran mereka.

Seakan semuanya dibuat instan yaa. Perbandingan dan penentuan pintar tidaknya seseorang, serta pantas tidaknya seseorang lulus dinilai secara instan. Tanpa melihat proses. Padahal proses yang paling berpengaruh. Tapi, entahlah kenapa kebanyakan orang masa kini menginginkan hasil yang memuaskan tanpa menghargai proses yang melelahkan. Bahkan parahnya kebanyakan pula menginginkan hasil yang sama bagusnya dengan seseorang yang sudah menjalani proses itu. Contohnya: nyontek atau copas tugas. Hasilnya kan sama dengan orang yang belajar jungkir balik sambil kayang selama berhari-hari? Proses? Bodo amat. Agak ga terima sih sebenarnya. -__-

Sekedar small talk sih. Entah orang-orangnya yang merusak system, atau sistemnya yang merusak orang-orang. Yaa kita semua pasti ingin yang terbaik donk. Semoga negeri ini semakin maju dengan dididiknya sumber daya manusia yang berkualitas. Yang memang mampu bersaing. Mampu menunjukkan dan mempertanggung jawabkan ‘angka’nya itu kepada dunia. Bahwa memang benar, ‘angka’ yang mereka raih sekarang merupakan bukti dari ‘kualitas’ mereka. MERDEKA!!

You Might Also Like

0 komentar