Cubitan kecil dari ‘Bali in Global Asia’

7:41 AM

“People come to Bali will see more Jakarta than Bali. This is the thing we have to concern”

Itu tadi salah satu celotehan peserta di acara Bali in Global Asia. Dan yang lebih mengesankan, peserta ini bukan orang asli Bali dan bukan juga orang asli Indonesia, melainkan Warga Negara Asing. Berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi Bali saat ini ternyata juga membuat warga asing turut prihatin dan memberikan saran dan kontribusi besar berupa masukan di konferensi ini.

Konferensi yang terbilang cukup singkat, yaitu hanya berlangsung selama 3 hari ini, dihadiri oleh sekitar 200 pakar budayawan dan sejarawan baik itu dari Indonesia maupun luar negeri. Mereka berdiskusi secara mendalam bagaimana Bali agar dapat bertahan sebagai ‘Bali’.


Dengan konferensi sekeren ini, peserta hanya cukup membayar 200ribu saja untuk WNI dan 461 ribu untuk WNA. Tapi aku bisa ikut grastis loh! Yap, karena aku panitia. Beruntung aku bertugas menjadi time keeper, jadi otomatis aku bisa ikut mendengarkan dan melihat konferensinya.

Ironis. Jadi beginilah ternyata Bali di mata dunia. Di satu sisi Bali sangat mempesona dan terkenal dengan keunikannya, tapi di sisi lain Bali merintih. Begitu pula ketika ternyata orang yang bukan asli Bali lebih peduli terhadap masa depan Bali. Banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang aku dapat dari kegiatan ini. Misalnya..
 

1. Ini nyata kalau Bali sudah mendunia

Di hari pertama, aku dapat tugas jaga di stand registrasi. Supaya kelihatan ramah dan sopan, tentunya aku menyapa dengan sok English,
“Good afternoon” jeda senyum sebentar “have you paid, sir?”.

Dan dengan percaya diri dan gagah perkasa si bapak bule itu menjawab,

“durung, kude mayah?”

“…” aku melongo, mukaku tiba-tiba merah kayak tomat ijo. Antara kaget karena masih shock atau malu karena ga bisa jawab dengan bahasa Bali sefasih si bapak bule.

“berapa bayar dik?” akhirnya si bapak bule sampai mengulang pertanyaan tadi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Mungkin dia juga bingung kenapa aku ga jawab. Dikiranya aku ga bisa bahasa bali mungkin -__-

“200 ribu nggih” akhirnya aku bangun dari shock therapyku. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Ini nyata kalau Bali sudah mendunia.

Kaget dan salut. Mereka sangat jatuh cinta dengan Bali, sampai-sampai mereka sangat ingin merasakan bagaimana menjadi orang asli Bali. Itu hanya salah satu contoh, dari ratusan peserta itu, sekitar 10%nya bisa berbahasa Bali, dan bahkan lebih dari 50%nya bisa berbahasa Indonesia.

Boleh sih boleh fasih bahasa inggris, boleh sih boleh bangga dengan logat English kita yang gaul begitu, tapi engga boleh sampai lupa dengan bahasa sendiri. Bangga dengan apa yang kita punya. Hargai bahasa sendiri. Eda engsap teken basa raga pedidi.

2. Simply, Serenity, Elegance

Ketiga kata itu yang dipakai oleh Pram Sounsamut dalam mendeskripsikan Bali. Dia mengungkapkan secara jujur banged, bahwa memang Thailand lebih suka menggunakan dan mengaplikasikan konsep Bali di beberapa hotel, spa, penginapan dan lainnya, ketimbang budaya Thailand sendiri.

Dia sendiri juga mengatakan bahwa memang tempat yang berkonsep Bali lebih diminati dan mempunyai nilai jual yang sangat mahal. Konsep Bali yang ditiru seperti penggunaan bunga Jepun, atap dengan jerami, pahatan dan ukiran Bali, patung penjaga di depan pintu, bahkan umbul-umblnya.

Tetapi, sangat ironis ketika ternyata di Bali sendiri banyak investor dan pemilik hotel, spa dan yang lainnya kemudian beralih ke konsep arsitektur lainnya, misalnya saja arsitektur Eropa. Kalau tidak salah sepertinya sudah ada Perda yang mengatur fasilitas dan akomodasi di Bali untuk cenderung menggunakan arsitektur Bali, tetapi kenapa masih saja ada yang seakan mengacuhkan Perda ini, atau Perda-nya yang kurang tegas. Entahlah.

3. Mereka bangga dengan Bali

Merupakan suatu kebanggan, ketika orang lain juga ikut membanggakan karya seni kita. Dewa Putu Mokoh, karya seniman dari Bali ini sangat dibanggakan oleh Chriss Hill, sampai dia member judul presentasinya dengan ’mokoh’. Tetapi yang agak ganjil di sini, terlihat di presentasinya, bahwa beberapa foto itu diambil dari Batuan Collection, Singapore dan bukan Bali.

Kemudian, ada juga yang membahas suatu tradisi omed-omedan sebagai suatu ritual yang harus dikembangkan untuk membatasi imoralitas.

Bahkan dari pemakalah Jepang, dia mengacungkan jempol kepada system keamanan Bali yang berbasis masyarakat seperti pecalang dan siskamling.

Dari pemakalah Indonesia, ada pula yang membahas mengenai bagaimana seharusnya tindakan dan respon kita terhadap pendatang yang menetap di Bali, bagaimana interaksi dan sikap mereka terhadap masyarakat dan lingkungan Bali.

Ada juga gerakan yang merupakan kerja sama antara orang Bali dan pihak luar, seperti ‘Bali cantik tanpa plastik’ dan ‘akar rumput’ yang peduli terhadap lingkungan Bali.

Sebenarnya, ada sekitar 100 makalah yang dipresentasikan, semua topik umumnya membahas mengenai Bagaimana bali agar tetap bisa bertahan ditengah tiupan angin popularitasnya dan godaan investor. ‘Bali in Global Asia’ ini seakan menjadi cubitan kecil bagi kita, orang Indonesia dan Bali pada khususnya untuk bangun dan sadar. Sadar bahwa Bali semakin tereksploitasi oleh para investor dan pendatang yang kurang bertanggung jawab. Sadar bahwa kecantikan Bali semakin pudar, hanya karena kita sendiri yang kurang peduli untuk merawatnya. Kita semua tentu menginginkan Bali yang seperti ini:

Bali yang tetap kaya akan warisan budayanya.
Bali yang asri, indah dan nyaman. Bukan kumuh, padat dan macet.
Bali yang ramah dan bisa menyaring budaya luar.
Bali yang mengargai karya-karya senimannya.
Dan tentunya.. Bali yang cantiknya abadi.

Some of my pics in Bali in Global Asia:
one of the conference

from left to right: me, desi, andy, erik, tiwi, diah, tami

from left to righ: doni, desi, andi, erik, tiwi, diah tami. (i was the photographer :D)

You Might Also Like

0 komentar